Saturday 19 September 2015

Mitsubishi Zero - Sang legenda dari Pasifik




Kokpit Zero

Boleh dikatakan bahwa Mitsubishi A6M (atau yang sering disebut Zero) ini adalah pesawat tempur yang paling terkenal diantara pesawat-pesawat tempur Jepang era WW II (juga yang paling banyak diproduksi, tercatat telah diproduksi sebanyak 10,449 unit). Mungkin bisa juga dibilang kalau pesawat ini adalah salah satu pesawat terbaik, atau bahkan terbaik, pada masa-masa awal perang dunia II. Sekedar catatan, Zero merupakan carrier-based aircraft (pesawat yang berbasis di Kapal Induk) pertama di dunia yang mampu mengalahkan pesawat-pesawat yang berbasis di darat. Asal muasal nama Zero sendiri berasal dari kode Zero di Angkatan laut Jepang sendiri yaitu Type 0 Fighter (Rei Shiko Sentoki atau disingkat Reisen) .

Zero muncul akibat dari permintaan Angkatan Laut Jepang akan adanya pengganti pesawat Mitsubishi A5M. Syarat yang ditetapkan oleh Angkatan Laut Jepang adalah sebuah pesawat yang mampu terbang dengan kecepatan 310 miles per jam pada ketinggian 13,100 kaki , kemampuan menanjak ke ketinggian 9,800 kaki dalam 3.5 menit, persenjataan berupa 2 kanon 20mm dan 2 senapan mesin 7.7mm. Juga disyaratkan akan adanya komunikasi radio, yang dimana alat ini tidak terdapat pada jenis A5M. Selain syarat diatas, Angkatan Laut juga mensyaratkan agar kemampuan manuver Zero minimal sama dengan kemampuan manuver A5M. Pada mulanya ada 2 perusahaan yang bersaing dalam program ini, yaitu: Mitsubishi dan Nakajima. Namun kemudian Nakajima mundur dari program ini karena merasa tidak sanggup untuk membuat pesawat sesuai spesifikasi yang diminta. Akhirnya, hanya Mitsubishi yang mengerjakan proyek ini yang dimana ditangani oleh kepala perancang Mitsubishi yang bernama Jiro Horikoshi

Prototype pertama selesai pada tanggal 16 Maret 1939 di pabrik Mitsubishi yang berlokasi di Nagoya. Adapun penerbangan perdana pesawat ini dilakukan pada tanggal 1 April 1939 oleh pilot Angkatan Darat Jepang (pada saat itu rata-rata negara di dunia belum memiliki Angkatan Udara yang terpisah, kecuali Inggris dan Jerman) yang bernama Katsuzo Shima. Pesawat ini kemudian diterima oleh Angkatan Laut Jepang pada tanggal 14 September 1939. Kemudian pesawat ini diberi kode A6M1. Namun ternyata, varian A6M1 ini hanya mampu terbang dengan kecepatan maximum 305 miles per jam pada ketinggian 12,470 kaki. Karena hal ini, maka Angkatan Laut meminta dibuatkan varian baru. Maka muncullah varian A6M2 yang kali ini menggunakan mesin buatan Nakajima berkode NK1C Sakae 12. Dengan mesin baru ini, maka Zero memiliki kemampuan diatas persyaratan yang telah ditetapkan.

Pertempuran pertama yang dialami oleh Zero adalah di China. Superioritas Zero dalam menghadapi pesawat-pesawat yang dimiliki Cina (kombinasi pesawat2 AS dan Russia) terlihat jelas dengan jatuhnya 99 pesawat Cina berbanding 2 pesawat zero (itupun karena ditembak artileri anti serangan udara). Laporan pilot-pilot Amerika yang menjadi sukarelawan di China tentang kemampuan Zero tidak ditanggapi oleh Angkatan Bersenjata Amerika. Sampai setelah Sekutu resmi mengumumkan perang terhadap Jepang, kemampuan pesawat-pesawat mereka macam: Bell P-39 Airacobra, Curtiss P-40, dan Grumman F4F Wildcat bukanlah tandingan bagi Zero. Jepang benar-benar menguasai medan perang udara di pasifik saat itu karena Zero dengan mudahnya mampu menghancurkan pesawat-pesawat tersebut meskipun tenaga mesin Zero dibawah tenaga pesawat-pesawat tersebut. Hal ini karena bobot Zero yang jauh lebih ringan dibanding pesawat-pesawat tersebut. Ditambah lagi daya jelajah Zero yang jauh melebihi pesawat-pesawat itu, makin membuat pilot-pilot Jepang leluasa mengalahkan pilot-pilot Sekutu. Bahkan Saburo Sakai dalam bukunya, Samurai, mengatakan bahwa seringkali pesawat-pesawat Zero tidak dilengkapi dengan radio dengan tujuan untuk memperingan bobot pesawat. Untuk menempuh jarak yang jauh, pilot-pilot Zero seringkali mengeset putaran mesin pesawat pada kisaran 1,500 - 2,000 RPM jika dirasa tidak ada musuh yang dapat mengancam dengan tujuan menghemat bahan bakar. Dengan pesawat lain, mungkin mesin sudah akan mati namun tidak dengan Zero. Ironisnya, untuk menyangkal kehebatan Zero, pihak Sekutu seringkali mengklaim bahwa jumlah pesawat Zero jauh diatas jumlah pesawat mereka. Padahal menurut Saburo Sakai, hal ini tidaklah benar. Ia berkata bahwa skadron udaranya yang berpangkalan di Kalimantan untuk menyerbu Jawa hanya berkekuatan 18 Zero dimana para pilot harus bergantian memakainya.

Namun sayangnya, Mitsubishi tidak cepat dalam mengeluarkan generasi penerus dari Zero. Memang benar terdapat varian-varian baru. Namun pada intinya varian itu belum memperbaiki kelemahan yang terdapat dalam Zero. Zero memang memiliki kemampuan manuver yang hebat dalam kecepatan rendah, namun pesawat ini sulit bermanuver dalam kecepatan tinggi. Apalagi kemudian Amerika juga meluncurkan varian baru dari F4F Wildcat yang lebih tangguh dibanding Zero sehingga membuat pilot-pilot sekutu mulai mampu mengalahkan pilot-pilot Jepang. Namun, hal yang benar-benar menandai awal kegelapan Zero adalah dengan ditemukannya pesawat Zero yang jatuh oleh pasukan Amerika di kepulauan Pasifik. Pesawat ini dibawa ke Amerika dan mampu diperbaiki untuk kemudian diteliti. Dari sini kemudian diketahui kelemahan-kelemahan Zero. Apalagi kemudian juga diketahui bahwa tangki bahan bakar Zero mudah terbakar, dan ruang kokpit pilot tidak dilindungi oleh kaca anti peluru serta tidak memiliki alat pemadam kebakaran. Dari sini kemudian pilot-pilot sekutu menemukan cara untuk mengalahkan pilot-pilot Jepang, atau setidaknya mengurangi kekalahan di pihak mereka. Nasib Zero benar-benar semakin hancur setelah diluncurkannya pesawat Grumman F6 Hellcat. Pesawat ini seolah-olah memiliki segala kemampuan yang tidak dimiliki oleh Zero. Bisa dikatakan Zero kalah dalam segala hal, membuat jatuhnya banyak korban di pihak Jepang. Bahkan salah satu pilot legendaris Jepang yaitu Toshio Ota pun menjadi korban pilot-pilot Hellcat.

Terlepas dari semua hal diatas, Jepang tetap tidak segera menelurkan pengganti Zero. Memang ada varian terbaru A6M5, tapi pada intinya tidak terlalu banyak perubahan yang dilakukan kecuali mengganti mesin lama dengan mesin baru yang lebih bertenaga dan sebuah kanon tambahan yang dirancang untuk menghadapi pembom B-29. Meskipun demikian, A6M5 adalah varian Zero yang paling banyak diproduksi. Varian ini pulalah yang digunakan untuk melaksanakan misi Kamikaze dengan cara mengganti tanki cadangan dengan bom seberat 550 pounds.

Jepang memang kemudian menelurkan pesawat-pesawat baru, diantaranya: Mitsubishi J2M Raiden dan Kawanishi N1K-J Shiden. Pesawat-pesawat ini memang lebih tangguh dibanding Zero dalam hal kecepatan maksimum, kecepatan menanjak, serta memiliki pelindung tangki bahan bakar serta kokpit anti peluru. Namun kelemahannya adalah dalam hal manuver, dimana pesawat ini sulit dikendalikan dibandingkan Zero. Hal ini disebabkan karena bobot mesin yang lebih berat, material pesawat yang lebih tebal, serta persenjataan yang lebih lengkap. Selain itu, mesin yang digunakan kedua pesawat ini terkesan dibuat buru-buru, sehingga kerap kali bermasalah dan terpaksa pesawat harus ditarik kembali ke pabrik untuk diadakan modifikasi. Akibatnya, produksi menjadi tersendat-sendat yang pada akhirnya membuat Jepang mau tidak mau harus mengandalkan Zero yang lebih mudah dan murah untuk diproduksi serta telah teruji kemampuannya.

Sungguh sayang memang pesawat sehebat ini tidak sempat memiliki pengganti. Prototype pengganti Zero, yaitu A7M Reppu baru dirancang pada saat-saat terakhir kekalahan Jepang. Reppu sebenarnya disebut-sebut memiliki kemampuan sehebat Raiden dan Shiden dengan kemampuan manuver sehebat Zero. Namun dengan kekalahan Jepang, maka Reppu tidak sempat diproduksi massal.

No comments:

Post a Comment